A.
PENGERTIAN
BOD DAN COD
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan
Industri dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pencemaran Air. Kualitas air dianalisis berdasarkan keadaan
air pada keadaan normal, dan jika terdapat penyimpangan dinamakan air yang
tercemar. (Agustira et al, 2013). Berikut adalah dua parameter yang sering
digunakan untuk menganalisis kualitas air.
1. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD atau Biochemical Oxygen Demand merupakan suatu karakteristik yang
membahas jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
menguraikan atau mendekomposisi bahan-bahan organik dalam keadaan aerobik.
Prinsip pengukuran BOD secara umum cukup sederhana, yakni mengukur kandungan
oksigen terlarut yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L)
(Agustira et al, 2013).
Menurut Mays dalam Atima (2015), BOD
adalah suatu ukuran jumlah oksigen yang dipakai oleh populasi mikroba yang
berada di dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang
dapat diuraikan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
meskipun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, namun dapat juga dimaknai sebagai
gambaran jumlah bahan organik yang mudah terurai (biodegradable organics) yang terdapat di perairan (Atima, 2015).
2. COD (Chemical Oxygen Demand)
COD atau Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena
bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator
kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak
sulfat, sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang
kompleks dan sulit diurai, akan teroksidasi. Jika dibandingkan dengan BOD,
nilai BOD bisa sama dengan COD, namun BOD tidak bisa lebih besar dari COD.
Jadi, COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada (Atima, 2015).
B.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Industri Tekstil adalah salah satu industri yang mampu
mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah industri batik
yang ada di kota Sidoarjo tepatnya di Kampung Batik Jetis Sidoarjo. Kampung
Batik Jetis yang ada di Sidoarjo merupakan salah satu home industri dengan
batik tulisnya yang tergabung ke dalam kelompok perajin batik yang sudah
diresmikan oleh pemerintah setempat. Namun, terdapat suatu permasalahan yang
terjadi pada kampung batik ini yaitu tidak adanya IPAL yang digunakan untuk
mengolah limbah yang dihasilkan karena lahan yang kurang untuk pembangunan IPAL
sehingga para perajin langsung membuang limbah tersebut ke sungai dekat tempat
produksi yang mengakibatkan terjadinya pencemaran sungai akibat dari limbah
yang mengandung pencemar bahan organik seperti BOD dan COD dengan kadar sangat
tinggi yang berasal dari proses pewarnaan batik. Apabila permintaan tekstil
batik semakin tinggi, dapat menyebabkan peningkatan produksi dengan limbah produksi
yang juga semakin meningkat.
C.
ANALISIS
NILAI BOD DAN COD
LIMBAH
INDUSTRI BATIK
Tabel diatas merupakan hasil analisis laboratorium oleh
Badan Riset dan Standarisasi Penelitian Limbah Industri, Surabaya. Pada
penelitian ini, hanya akan membahas terkait parameter BOD dan COD dari limbah
cair industri batik. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa kandungan pencemar
Biochemical Oxygen Demand (BOD) sebesar 1.777, 5 mg/L dan Chemical Oxygen
Demand (COD) sebesar 16.654, 8 mg/L. Berdasarkan peraturan Gubernur Jawa Timur
No.72 Tahun 2013 tentang Baku Mutu Air Limbah Industri di Jawa Timur, khusus
industri tekstil baku mutu limbah cair untuk parameter COD sebesar 150 mg/L dan
parameter BOD sebesar 50 mg/L. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
peraturan tersebut limbah cair yang dihasilkan perajin batik di Kampung Batik
Jetis Sidoarjo telah melebihi baku mutu limbah cair yang berlaku di Jawa Timur.
D.
METODE
PENANGGULANGAN DAN KEEFEKTIFANNYA
1. PENANGANAN
Berdasarkan permasalahan yang sudah
dijelaskan sebelumnya, maka dapat dilakukan salah satu penanganan yaitu
pengolahan limbah menggunakan adsorben dari karbon aktif melalui proses
adsorpsi secara batch. Proses adsorpsi yang dilakukan bertujuan untuk
menyisihkan zat organik seperti BOD dan COD. Di mana karbon aktif akan
diaktifkan menggunakan larutan asam kuat seperti HCl untuk mengoptimalkan
kinerja adsorben selama proses adsorpsi sehingga akan lebih efektif.
Berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat larutan asam lain yang dapat
mengaktifkan karbon seperti H2SO4, HCl dan H3PO4,
namun yang paling efisien adalah HCl. Massa adsorben yang digunakan bervariasi
mulai dari 86 gram, 190 gram, dan 278 gram. Sedangkan waktu kontak yang
digunakan 2,5 jam dan 5 jam. Proses adsorpsi untuk menangani masalah ini adalah
adsorpsi multilayer dengan
menggunakan isoterm BET yaitu
adsorpsi yang terjadi karena adanya interaksi secara fisik antara adsorbat (zat
yang diserap) dengan permukaan adsorben (zat yang menyerap). Adanya proses
adsorpsi multilayer ini diketahui
melalui analisa SEM. Analisa SEM dilakukan untuk mengetahui kondisi permukaan
karbon dan dari hasil analisa ditemukan adanya pori pada permukaan luar dan
beberapa permukaan dalam (berupa cekungan atau retakan) yang lebih dalam lagi.
Setelah dilakukan proses penanganan
tersebut, kadar COD dalam air limbah batik kembali dianalisis dengan
menggunakan metode reflux. Dari
analisis tersebut, diperoleh hasil bahwa pada waktu kontak 2,5 jam efisiensi
penurunan COD cukup tinggi dengan massa adsorben karbon aktif sebesar 190 gram.
Demikian juga dengan kadar BOD dalam air limbah batik, kadar BOD dalam air
limbah batik dianalisis kembali dengan menggunakan metode winkler. Hasil dari analisis ini sama dengan hasil analisis kadar
COD yaitu efisiensi penurunan BOD cukup tinggi pada waktu kontak 2,5 jam dengan
massa adsorben karbon aktif sebesar 190 gram. Kedua analisis tersebut dilakukan
untuk mengetahui perubahan pencemar COD dan BOD pada air limbah batik.
2. EFEKTIVITAS
Penanganan yang sudah dijelaskan
sebelumnya dirasa sudah cukup efektif untuk menangani pencemaran sungai akibat
limbah cair dari produksi batik. Kelebihan dari penanganan yang digunakan
terletak pada adsorben yang digunakan serta pada proses pengolahan limbahnya.
Adsorben yang digunakan termasuk bahan yang mudah ditemui di toko, harganya
cukup ekonomis, sifatnya mudah untuk dibersihkan dan dapat diaktifkan kembali
sehingga mampu digunakan secara berulang-ulang hingga batas maksimal pemakaian.
Proses pengolahan limbah yang digunakan juga cukup sederhana dan aplikatif,
sehingga tidak memerlukan lahan yang luas untuk meletakkan reaktor
pengolahannya. Penanganan cukup efektif karena terjadi efisiensi penyisihan COD
terbesar sebanyak 16.444,08 mg/L dengan persentase mencapai 98,74% pada waktu
2,5 jam dan efisiensi penyisihan BOD sebesar 1.640,70 mg/L dengan persentase
sebesar 92,30% pada waktu 2,5 jam.
Kesimpulannya adalah penanganan
pencemaran air sungai karena limbah batik dengan menggunakan karbon aktif sebagai
adsorben melalui proses adsorpsi secara batch
untuk menurunkan BOD dan COD pada limbah cair industri batik cukup efektif.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustira, Riyanda; Lubis, Kemala
Sari; dan Jamilah. (2013). Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika Air dan Debit
Sungai Pada Kawasan Padang Akibat Pembuangan Limbah Tapioka. Jurnal Online Agroekoteknologi. Volume
1, Nomor 3, Juni 2013. ISSN : 2337-6597.
Atima, Wa. (2015). BOD dan COD
Sebagai Parameter Pencemaran Air dan Baku Mutu AIr Limbah. Jurnal Biology Science & Education. Volume 4, Nomor 1, Halaman
83-98. ISSN : 2252--858X.
Basuki, Kris Tri. (2007).
Penurunan Konsentrasi CO dan NO2 Pada Emisi Gas Buang Dengan Menggunakan Media
Penyisipan TiO2 Lokal Pada Karbon Aktif. JFN,
Vol.1, No.1
Kusnaedi. (2010). Mengolah Air Kotor untuk Air Minum.
Bekasi: Penebar Swadaya.
Rochma, Nikmatul dan Titah, Harmin
S. 2017. Penurunan BOD dan COD Limbah Cair Industri Batik Menggunakan Karbon
Aktif Melalui Proses Adsorpsi Secara Batch. Jurnal
Teknik ITS. Volume 6, Nomor 2. ISSN : 2337-3539.
Roesiani, Lina. 2015. Keefektifan Lama Kontak
Karbon Aktif Terhadap Penurunan Kadar Amonia Limbah Cair Industri Tahu di Desa
Teguhan Sragen Wetan Sragen. Publikasi Ilmiah. Program Studi Kesehatan Masyarakat -
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wijayanti, Ria. (2009). Arang Aktif dari Ampas Tebu Sebagai Adsorben Pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Pertanyaan dan Jawaban
1. 1. Pada BOD digunakan analisis menggunakan metode winkler, mengapa dipilih metode winkler?
Jawab:
Kelebihan Metode Winkler dalam
menganalisa BOD dan COD adalah metoda Winkler lebih analitis, teliti dan akurat.
Prosesnya seperti titrasi iodometri. Titrasi iodometri sendiri ialah titrasi
yang dilakukan dengan sampel yang dianalisis terlebih dahulu ditambahkan MnCl2
dengan NaOH –KI , sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan
H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadi akan larut
kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen
dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan
larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3)
dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji). Penentuan oksigen terlarut
(DO) dengan cara titrasi berdasarkan metode Winkler lebih analitis dan akurat
karena denga mengikuti prosedur penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi
tiosianat yang dilakukan secara analitis sehingga diperoleh hasil penentuan
oksiger terlarut (DO) yang lebih akurat.
2. Untuk mengatasi kadar BOD dan COD dalam limbah
tekstil ini menggunakan karbon aktif secara batch. Maksud dari secara batch
bagaimana?
Jawab:
Adsorpsi batch terbuat dari botol
bekas air mineral yang memiliki kapasitas 1500 mL. Botol bekas yang telah
disiapkan kemudian dibersihkan dan lepaskan semua brand yang menempel
pada permukaan bagian luar botol. Setelah dibersihkan dilakukan proses
pengeringan dan pemotongan dasar botol mengikuti lingkar botolnya. Kemudian
bagian atas botol (mulut botol) beri lapisan plastik atau kain untuk menahan
karbon tidak lolos dari dalam botol. Kemudian pada permukaan botol tersebut
dilakukan pengukuran (5,5 cm; 7,5 cm; dan 11,5 cm) dari mulut botol. Hal
tersebut dilakukan untuk meletakkan karbon karbon aktif yang akan digunakan
pada proses adsoprsi. Pengukuran pada botol diakhiri dengan pemberian tanda
hasil pengukuran pada masing-masing botol.
3. Disebutkan bahwa HCl lebih efektif dalam
mengoptimalkan adsorbsi daripada asam lain pada penelitian sebelumnya,
bagaimana bisa HCl lebih efektif?
Jawab:
Aktivasi
dengan asam klorida (HCl) lebih dapat melarutkan pengotor sehingga pori-pori
lebih banyak terbentuk dan proses penyerapan absorbat lebih maksimal,
dibandingkan aktivasi H2SO4 yang lebih sedikit jumlah ppori-porinya. Hal ini
dikarenakan dinding struktur dari karbon aktif dapat dirusak oleh H2SO4 yang
bersifat dekstruktif.
4. Apakah terdapat ketentuan untuk penggunaan massa
adsorben?
Jawab:
Masa
adsorban yang digunakan pada penelitian ini ditentukan berdasarkan pertimbangan
pada literature penelitian yang terdahulu. Berdasarkan pertimbangan literatur,
penelitian ini menggunakan massa adsorban sebanyak 89 gram, 190 gram, dan 278
gram. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan kolom reaktor adsorpsi yang
digunakan sangat sederhana (botol bekas air mineral). Sehingga penentuan massa
adsorban beracuan pada tinggi dasar botol. Dengan rentang variasi ketinggian 2
cm (tinggi botol 5,5 cm; 7,5 cm; 9,5 cm).
5. Apakah ada batas nilai penurunan BOD, COD agar dapat
dikatakan metode ini efektif digunakan? ataukah hanya sekedar dapat menurunkan
nilai BOD, COD sudah dapat dikatakan efektif?
Jawab:
Terkait
batas nilai penurunan BOD, COD tidak ada batasnya. Dapat dikatakan efektif
karena terjadi penurunan atau pengurangan yang cukup signifikan ketika sebelum
dilakukan penanganan dan setelah dilakukan penanganan.
6. Boleh tolong dijelaskan untuk cara kerja metode
refluks dalam menganalisis hasil
adsorpsi dengan arang aktif tersebut?
Jawab:
Prinsipnya
pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium bikromat (K2Cr2O7)
sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui) yang telah ditambahkan
asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa waktu.
Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat ditera dengan cara titrasi. Dengan
demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik dalam
sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan. Metode yg digunakan
biasanya adalah metode refluks tertutup. Prinsipnya senyawa organik dalam air
dioksidasi oleh larutan kalium dikromat dalam suasana asam sulfat pada
temperatur 150 derajat . Kelebihan kalium dikromat dititrasi oleh larutan ferro
ammonium sulfat (FAS) dengan indikator ferroin. Metode refluks tertutup juga
lebih ekonomis karena volume contoh air dan pereaksi lebih sedikit, tetapi
contoh air harus homogen terutama terhadap suspended solid. Senyawa organik
yang mudah menguap akan hilang selama pemanasan, untuk mencegah penguapan
tersebut, pengukuran COD biasanya dilakukan dengan kondensor atau refluks
secara tertutup. Metode standar penentuan kebutuhan oksigen kimiawi atau
Chemical Oxygen Demand (COD) yang digunakan saat ini adalah metoda yang
melibatkan penggunaan oksidator kuat kalium bikromat, asam sulfat pekat, dan
perak sulfat sebagai katalis.
7. Kalau suatu industri belum memiliki IPAL mengapa
masih bisa berdiri?
Jawab:
Mungkin
karena pengawasan yang kurang ketat di daerah operasional industri atau karena
proses perizinan pendirian industri yang kurang jujur, sebagaimana kita ketahui
seharusnya dalam proses perijinan, industri harus memiliki perencanaan AMDAL
sebelum mendirikan industry.
8.
Bagaimana mekanisme karbon aktif mengadsorpsi zat-zat
organik itu?
Jawab:
Mekanisme yang terjadi pada proses adsorpsi yaitu:
a)
Molekul-molekul adsorpsi berpindah dari fase bagian
terbesar ke permukaan antara adsorben yaitu lapisan film yang melapisi
permukaan adsorben
b)
Molekul-molekul adsorben berpindah dari permukaan antara
adsorben ke permukaan luar
c)
Molekul-molekul adsorbat berpindah dari permukaan luar
adsorben, dimana molekul tersebut menyebar menuju pori-pori adsorben
d)Molekul-molekul
adsorbat menempel pada permukaan pori-pori adsorben
Adanya mekanisme tersebut dapat
terlihat dalam gambar hasil analisis SEM berikut:
Pada
Gambar (a) dan (c) merupakan
mikrograf SEM karbon aktif sebelum proses adsorpsi. Sedangkan pada Gambar (b) dan (d) setelah terjadinya proses adsorpsi. Analisa SEM
dilakukan pada perbesaran 1.000 kali dan 10.000 kali.Hasil analisa menunjukkan
pori karbon aktif sudah tertutupi oleh adsorbat yang teradsorpsi pada permukaan karbon aktif. Perbedaan pada
keseluruhan gambar terlihat pada selaput yang terlihat menutupi pori di seluruh
permukaan karbon aktif. Berdasarkan dari keseluruhan hasil analisa SEM
menyatakan bahwa proses adsorpsi yang terjadi pada penelitian ini merupakan
adsorpsi multilayer. Hal ini dijelaskan dengan adanya pori pada permukaan luar dan beberapa permukaan
dalam (berupa cekungan/retakan) yang lebih dalam lagi.
9.
Proses pencucian kembali karbon aktif bisa dilakukan berapa kali? Misal karbon
1kg bisa dipakai untuk pemurnian limbah berapa kali?
Jawab:
Karbon
aktif biasa digunakan untuk menyerap bau, rasa tidak enak dan menjernihkan air.
Pori-pori karbon aktif mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi dan tidak
teratur,ukurannya berkisar antara 10-10000 Å. Pori-pori ini dapat menangkap dan
menjerat partikel-partikel sangat halus (molekul) (Basuki, 2007). Dalam penggunaannya, sering ditemukan kejadian
mengenai karbon aktif yang tidak lagi bekerja secara optimal atau tidak efektif
menyerap zat-zat yang terkandung dalam air. Hal ini bisa disebabkankarbon aktif
sudah mengalami kejenuhan karena pori-porinya yang sudah terlalu banyak
menyerap zat-zat disekitarnya sehingga tertutup dan tidak bisa menyerap zat-zat
lagi.Menurut Kusnaedi (2010), karbon aktif yang digunakan sebagai media
penyaring, secara berkala harus dicuci atau apabila sudah lama dan sering
dipakai atau sudah jenuh harus diganti dengan yang baru atau diaktivasi
kembali. Menurut Wijayanti (2009), bila permukaan karbon aktif sudah jenuh atau
mendekati jenuh terhadap adsorbat, dapat terjadi dua hal, yaitu pertama
terbentuk lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah
terikat dipermukaan, gejala ini disebut adsorpsi multilayer, sedangkan yang
kedua tidak terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang belum
teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida. Bila terjadi salah
satu atau kedua hal tersebut sebaiknya karbon aktif segera diganti dan tidak
digunakan lagi. Sejauh ini, belum ada penelitian yang mendalam tentang berapa
lama waktu karbon aktif dapat digunakan secara efektif sampai mengalami titik
kejenuhan. Jadi, belum bisa ditentukan berapa kali karbon aktif dapat
digunakan. Namun, masa penggunaan karbon aktif sebaiknya hanya sekitar 6-12
bulan tergantung kondisi air.
10.
Pembuangan limbah hasil adsorpsinya kemana?
Jawab:
Pada
jurnal tidak disebutkan secara detail dimana limbah tersebut dibuang karena di
dalam penelitian tersebut tidak disertakan IPALnya. Namun, dari hasil diskusi kelompok
kami dapat disimpulkan bahwa pembuangan limbah hasil adsorpsi tetap dibuang ke
sungai, hanya saja kualitas air limbah yang dibuang sudah jauh lebihbaik dari
air limbah sebelum disaring. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi zat
pencemar organik seperti BOD dan COD yang mengalami penurunan setelah dilakukan
proses adsorpsi dengan karbon aktif.
No comments:
Post a Comment