Saturday, October 17, 2020

Peta Pikiran Teknik Sampling Limbah Cair

Di bawah ini merupakan peta pikiran mengenai teknik sampling limbah cair yang beracuan pada SNI 6968.59:2008

Keterangan: 

Gambar 1: peta konsep teknik sampling limbah cair

Gambar 2: peta pikiran mengenai peralatan yang digunakan untuk sampling limbah cair

Gambar 3: peta pikiran mengenai titik lokasi pengambilan sampel limbah cair


pictures by: Anggie Lutfiyani


Gambar 1. 



Gambar 2.




Gambar 3.



Saturday, October 3, 2020

 

PROSES ADSORPSI MENGGUNAKAN KARBON AKTIF SEBAGAI METODE UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN COD DAN BOD PADA LIMBAH INDUSTRI BATIK









Next page for it's content ;)

PROSES ADSORPSI MENGGUNAKAN KARBON AKTIF SEBAGAI METODE UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN COD DAN BOD PADA LIMBAH INDUSTRI BATIK

 

A.     PENGERTIAN BOD DAN COD

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air. Kualitas air dianalisis berdasarkan keadaan air pada keadaan normal, dan jika terdapat penyimpangan dinamakan air yang tercemar. (Agustira et al, 2013). Berikut adalah dua parameter yang sering digunakan untuk menganalisis kualitas air.

1.      BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BOD atau Biochemical Oxygen Demand merupakan suatu karakteristik yang membahas jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan atau mendekomposisi bahan-bahan organik dalam keadaan aerobik. Prinsip pengukuran BOD secara umum cukup sederhana, yakni mengukur kandungan oksigen terlarut yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L) (Agustira et al, 2013).

Menurut Mays dalam Atima (2015), BOD adalah suatu ukuran jumlah oksigen yang dipakai oleh populasi mikroba yang berada di dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diuraikan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, namun dapat juga dimaknai sebagai gambaran jumlah bahan organik yang mudah terurai (biodegradable organics) yang terdapat di perairan (Atima, 2015).

2.      COD (Chemical Oxygen Demand)

COD atau Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat, sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit diurai, akan teroksidasi. Jika dibandingkan dengan BOD, nilai BOD bisa sama dengan COD, namun BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi, COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada (Atima, 2015).

 

B.    LATAR BELAKANG PENELITIAN

Industri Tekstil adalah salah satu industri yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah industri batik yang ada di kota Sidoarjo tepatnya di Kampung Batik Jetis Sidoarjo. Kampung Batik Jetis yang ada di Sidoarjo merupakan salah satu home industri dengan batik tulisnya yang tergabung ke dalam kelompok perajin batik yang sudah diresmikan oleh pemerintah setempat. Namun, terdapat suatu permasalahan yang terjadi pada kampung batik ini yaitu tidak adanya IPAL yang digunakan untuk mengolah limbah yang dihasilkan karena lahan yang kurang untuk pembangunan IPAL sehingga para perajin langsung membuang limbah tersebut ke sungai dekat tempat produksi yang mengakibatkan terjadinya pencemaran sungai akibat dari limbah yang mengandung pencemar bahan organik seperti BOD dan COD dengan kadar sangat tinggi yang berasal dari proses pewarnaan batik. Apabila permintaan tekstil batik semakin tinggi, dapat menyebabkan peningkatan produksi dengan limbah produksi yang juga semakin meningkat.

 

C.     ANALISIS NILAI BOD DAN COD

LIMBAH INDUSTRI BATIK


 

Tabel diatas merupakan hasil analisis laboratorium oleh Badan Riset dan Standarisasi Penelitian Limbah Industri, Surabaya. Pada penelitian ini, hanya akan membahas terkait parameter BOD dan COD dari limbah cair industri batik. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa kandungan pencemar Biochemical Oxygen Demand (BOD) sebesar 1.777, 5 mg/L dan Chemical Oxygen Demand (COD) sebesar 16.654, 8 mg/L. Berdasarkan peraturan Gubernur Jawa Timur No.72 Tahun 2013 tentang Baku Mutu Air Limbah Industri di Jawa Timur, khusus industri tekstil baku mutu limbah cair untuk parameter COD sebesar 150 mg/L dan parameter BOD sebesar 50 mg/L. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan peraturan tersebut limbah cair yang dihasilkan perajin batik di Kampung Batik Jetis Sidoarjo telah melebihi baku mutu limbah cair yang berlaku di Jawa Timur.

 

D.     METODE PENANGGULANGAN DAN KEEFEKTIFANNYA

1.    PENANGANAN

Berdasarkan permasalahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dilakukan salah satu penanganan yaitu pengolahan limbah menggunakan adsorben dari karbon aktif melalui proses adsorpsi secara batch. Proses adsorpsi yang dilakukan bertujuan untuk menyisihkan zat organik seperti BOD dan COD. Di mana karbon aktif akan diaktifkan menggunakan larutan asam kuat seperti HCl untuk mengoptimalkan kinerja adsorben selama proses adsorpsi sehingga akan lebih efektif. Berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat larutan asam lain yang dapat mengaktifkan karbon seperti H2SO4, HCl dan H3PO4, namun yang paling efisien adalah HCl. Massa adsorben yang digunakan bervariasi mulai dari 86 gram, 190 gram, dan 278 gram. Sedangkan waktu kontak yang digunakan 2,5 jam dan 5 jam. Proses adsorpsi untuk menangani masalah ini adalah adsorpsi multilayer dengan menggunakan isoterm BET yaitu adsorpsi yang terjadi karena adanya interaksi secara fisik antara adsorbat (zat yang diserap) dengan permukaan adsorben (zat yang menyerap). Adanya proses adsorpsi multilayer ini diketahui melalui analisa SEM. Analisa SEM dilakukan untuk mengetahui kondisi permukaan karbon dan dari hasil analisa ditemukan adanya pori pada permukaan luar dan beberapa permukaan dalam (berupa cekungan atau retakan) yang lebih dalam lagi.

Setelah dilakukan proses penanganan tersebut, kadar COD dalam air limbah batik kembali dianalisis dengan menggunakan metode reflux. Dari analisis tersebut, diperoleh hasil bahwa pada waktu kontak 2,5 jam efisiensi penurunan COD cukup tinggi dengan massa adsorben karbon aktif sebesar 190 gram. Demikian juga dengan kadar BOD dalam air limbah batik, kadar BOD dalam air limbah batik dianalisis kembali dengan menggunakan metode winkler. Hasil dari analisis ini sama dengan hasil analisis kadar COD yaitu efisiensi penurunan BOD cukup tinggi pada waktu kontak 2,5 jam dengan massa adsorben karbon aktif sebesar 190 gram. Kedua analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui perubahan pencemar COD dan BOD pada air limbah batik.

2.    EFEKTIVITAS

Penanganan yang sudah dijelaskan sebelumnya dirasa sudah cukup efektif untuk menangani pencemaran sungai akibat limbah cair dari produksi batik. Kelebihan dari penanganan yang digunakan terletak pada adsorben yang digunakan serta pada proses pengolahan limbahnya. Adsorben yang digunakan termasuk bahan yang mudah ditemui di toko, harganya cukup ekonomis, sifatnya mudah untuk dibersihkan dan dapat diaktifkan kembali sehingga mampu digunakan secara berulang-ulang hingga batas maksimal pemakaian. Proses pengolahan limbah yang digunakan juga cukup sederhana dan aplikatif, sehingga tidak memerlukan lahan yang luas untuk meletakkan reaktor pengolahannya. Penanganan cukup efektif karena terjadi efisiensi penyisihan COD terbesar sebanyak 16.444,08 mg/L dengan persentase mencapai 98,74% pada waktu 2,5 jam dan efisiensi penyisihan BOD sebesar 1.640,70 mg/L dengan persentase sebesar 92,30% pada waktu 2,5 jam.

Kesimpulannya adalah penanganan pencemaran air sungai karena limbah batik dengan menggunakan karbon aktif sebagai adsorben melalui proses adsorpsi secara batch untuk menurunkan BOD dan COD pada limbah cair industri batik cukup efektif.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Agustira, Riyanda; Lubis, Kemala Sari; dan Jamilah. (2013). Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika Air dan Debit Sungai Pada Kawasan Padang Akibat Pembuangan Limbah Tapioka. Jurnal Online Agroekoteknologi. Volume 1, Nomor 3, Juni 2013. ISSN : 2337-6597.

Atima, Wa. (2015). BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air dan Baku Mutu AIr Limbah. Jurnal Biology Science & Education. Volume 4, Nomor 1, Halaman 83-98. ISSN : 2252--858X.

Basuki, Kris Tri. (2007). Penurunan Konsentrasi CO dan NO2 Pada Emisi Gas Buang Dengan Menggunakan Media Penyisipan TiO2 Lokal Pada Karbon Aktif. JFN, Vol.1, No.1

Kusnaedi. (2010). Mengolah Air Kotor untuk Air Minum. Bekasi: Penebar        Swadaya.

Rochma, Nikmatul dan Titah, Harmin S. 2017. Penurunan BOD dan COD Limbah Cair Industri Batik Menggunakan Karbon Aktif Melalui Proses Adsorpsi Secara Batch. Jurnal Teknik ITS. Volume 6, Nomor 2. ISSN : 2337-3539.

Roesiani, Lina. 2015. Keefektifan Lama Kontak Karbon Aktif Terhadap Penurunan Kadar Amonia Limbah Cair Industri Tahu di Desa Teguhan Sragen Wetan Sragen. Publikasi Ilmiah. Program Studi Kesehatan Masyarakat - Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wijayanti, Ria. (2009). Arang Aktif dari Ampas Tebu Sebagai Adsorben Pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor


Pertanyaan dan Jawaban

1.   1. Pada BOD digunakan analisis menggunakan metode winkler, mengapa dipilih metode winkler?

Jawab:

Kelebihan Metode Winkler dalam menganalisa BOD dan COD adalah metoda Winkler lebih analitis, teliti dan akurat. Prosesnya seperti titrasi iodometri. Titrasi iodometri sendiri ialah titrasi yang dilakukan dengan sampel yang dianalisis terlebih dahulu ditambahkan MnCl2 dengan NaOH –KI , sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji). Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi berdasarkan metode Winkler lebih analitis dan akurat karena denga mengikuti prosedur penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosianat yang dilakukan secara analitis sehingga diperoleh hasil penentuan oksiger terlarut (DO) yang lebih akurat.

2. Untuk mengatasi kadar BOD dan COD dalam limbah tekstil ini menggunakan karbon aktif secara batch. Maksud dari secara batch bagaimana?

Jawab:

Adsorpsi batch terbuat dari botol bekas air mineral yang memiliki kapasitas 1500 mL. Botol bekas yang telah disiapkan kemudian dibersihkan dan lepaskan semua brand yang menempel pada permukaan bagian luar botol. Setelah dibersihkan dilakukan proses pengeringan dan pemotongan dasar botol mengikuti lingkar botolnya. Kemudian bagian atas botol (mulut botol) beri lapisan plastik atau kain untuk menahan karbon tidak lolos dari dalam botol. Kemudian pada permukaan botol tersebut dilakukan pengukuran (5,5 cm; 7,5 cm; dan 11,5 cm) dari mulut botol. Hal tersebut dilakukan untuk meletakkan karbon karbon aktif yang akan digunakan pada proses adsoprsi. Pengukuran pada botol diakhiri dengan pemberian tanda hasil pengukuran pada masing-masing botol.

 

3. Disebutkan bahwa HCl lebih efektif dalam mengoptimalkan adsorbsi daripada asam lain pada penelitian sebelumnya, bagaimana bisa HCl lebih efektif?


Jawab:


Aktivasi dengan asam klorida (HCl) lebih dapat melarutkan pengotor sehingga pori-pori lebih banyak terbentuk dan proses penyerapan absorbat lebih maksimal, dibandingkan aktivasi H2SO4 yang lebih sedikit jumlah ppori-porinya. Hal ini dikarenakan dinding struktur dari karbon aktif dapat dirusak oleh H2SO4 yang bersifat dekstruktif.

 

4. Apakah terdapat ketentuan untuk penggunaan massa adsorben?


Jawab:


Masa adsorban yang digunakan pada penelitian ini ditentukan berdasarkan pertimbangan pada literature penelitian yang terdahulu. Berdasarkan pertimbangan literatur, penelitian ini menggunakan massa adsorban sebanyak 89 gram, 190 gram, dan 278 gram. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan kolom reaktor adsorpsi yang digunakan sangat sederhana (botol bekas air mineral). Sehingga penentuan massa adsorban beracuan pada tinggi dasar botol. Dengan rentang variasi ketinggian 2 cm (tinggi botol 5,5 cm; 7,5 cm; 9,5 cm).

 

5. Apakah ada batas nilai penurunan BOD, COD agar dapat dikatakan metode ini efektif digunakan? ataukah hanya sekedar dapat menurunkan nilai BOD, COD sudah dapat dikatakan efektif?


Jawab:


Terkait batas nilai penurunan BOD, COD tidak ada batasnya. Dapat dikatakan efektif karena terjadi penurunan atau pengurangan yang cukup signifikan ketika sebelum dilakukan penanganan dan setelah dilakukan penanganan.

 

 

6. Boleh tolong dijelaskan untuk cara kerja metode refluks dalam  menganalisis hasil adsorpsi dengan arang aktif tersebut?


Jawab:


Prinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui) yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat ditera dengan cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan. Metode yg digunakan biasanya adalah metode refluks tertutup. Prinsipnya senyawa organik dalam air dioksidasi oleh larutan kalium dikromat dalam suasana asam sulfat pada temperatur 150 derajat . Kelebihan kalium dikromat dititrasi oleh larutan ferro ammonium sulfat (FAS) dengan indikator ferroin. Metode refluks tertutup juga lebih ekonomis karena volume contoh air dan pereaksi lebih sedikit, tetapi contoh air harus homogen terutama terhadap suspended solid. Senyawa organik yang mudah menguap akan hilang selama pemanasan, untuk mencegah penguapan tersebut, pengukuran COD biasanya dilakukan dengan kondensor atau refluks secara tertutup. Metode standar penentuan kebutuhan oksigen kimiawi atau Chemical Oxygen Demand (COD) yang digunakan saat ini adalah metoda yang melibatkan penggunaan oksidator kuat kalium bikromat, asam sulfat pekat, dan perak sulfat sebagai katalis.

 

7. Kalau suatu industri belum memiliki IPAL mengapa masih bisa berdiri?


Jawab:


Mungkin karena pengawasan yang kurang ketat di daerah operasional industri atau karena proses perizinan pendirian industri yang kurang jujur, sebagaimana kita ketahui seharusnya dalam proses perijinan, industri harus memiliki perencanaan AMDAL sebelum mendirikan industry.

 

8. Bagaimana mekanisme karbon aktif mengadsorpsi zat-zat organik itu?


Jawab:


Mekanisme yang terjadi pada proses adsorpsi yaitu:

a) Molekul-molekul adsorpsi berpindah dari fase bagian terbesar ke permukaan antara adsorben yaitu lapisan film yang melapisi permukaan adsorben

b) Molekul-molekul adsorben berpindah dari permukaan antara adsorben ke permukaan luar

c) Molekul-molekul adsorbat berpindah dari permukaan luar adsorben, dimana molekul tersebut menyebar menuju pori-pori adsorben

d)Molekul-molekul adsorbat menempel pada permukaan pori-pori adsorben

Adanya mekanisme tersebut dapat terlihat dalam gambar hasil analisis SEM berikut:

 

 


 

 

Pada Gambar (a) dan (c) merupakan mikrograf SEM karbon aktif sebelum proses adsorpsi. Sedangkan pada Gambar (b) dan (d) setelah terjadinya proses adsorpsi. Analisa SEM dilakukan pada perbesaran 1.000 kali dan 10.000 kali.Hasil analisa menunjukkan pori karbon aktif sudah tertutupi oleh adsorbat yang teradsorpsi pada permukaan karbon aktif. Perbedaan pada keseluruhan gambar terlihat pada selaput yang terlihat menutupi pori di seluruh permukaan karbon aktif. Berdasarkan dari keseluruhan hasil analisa SEM menyatakan bahwa proses adsorpsi yang terjadi pada penelitian ini merupakan adsorpsi multilayer. Hal ini dijelaskan dengan adanya pori pada permukaan luar dan beberapa permukaan dalam (berupa cekungan/retakan) yang lebih dalam lagi.

 

9. Proses pencucian kembali karbon aktif bisa dilakukan berapa kali? Misal karbon 1kg bisa dipakai untuk pemurnian limbah berapa kali?


Jawab:


Karbon aktif biasa digunakan untuk menyerap bau, rasa tidak enak dan menjernihkan air. Pori-pori karbon aktif mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi dan tidak teratur,ukurannya berkisar antara 10-10000 Ã…. Pori-pori ini dapat menangkap dan menjerat partikel-partikel sangat halus (molekul) (Basuki, 2007). Dalam  penggunaannya, sering ditemukan kejadian mengenai karbon aktif yang tidak lagi bekerja secara optimal atau tidak efektif menyerap zat-zat yang terkandung dalam air. Hal ini bisa disebabkankarbon aktif sudah mengalami kejenuhan karena pori-porinya yang sudah terlalu banyak menyerap zat-zat disekitarnya sehingga tertutup dan tidak bisa menyerap zat-zat lagi.Menurut Kusnaedi (2010), karbon aktif yang digunakan sebagai media penyaring, secara berkala harus dicuci atau apabila sudah lama dan sering dipakai atau sudah jenuh harus diganti dengan yang baru atau diaktivasi kembali. Menurut Wijayanti (2009), bila permukaan karbon aktif sudah jenuh atau mendekati jenuh terhadap adsorbat, dapat terjadi dua hal, yaitu pertama terbentuk lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah terikat dipermukaan, gejala ini disebut adsorpsi multilayer, sedangkan yang kedua tidak terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida. Bila terjadi salah satu atau kedua hal tersebut sebaiknya karbon aktif segera diganti dan tidak digunakan lagi. Sejauh ini, belum ada penelitian yang mendalam tentang berapa lama waktu karbon aktif dapat digunakan secara efektif sampai mengalami titik kejenuhan. Jadi, belum bisa ditentukan berapa kali karbon aktif dapat digunakan. Namun, masa penggunaan karbon aktif sebaiknya hanya sekitar 6-12 bulan tergantung kondisi air.

 

10.            Pembuangan limbah hasil adsorpsinya kemana?


Jawab:


Pada jurnal tidak disebutkan secara detail dimana limbah tersebut dibuang karena di dalam penelitian tersebut tidak disertakan IPALnya. Namun, dari hasil diskusi kelompok kami dapat disimpulkan bahwa pembuangan limbah hasil adsorpsi tetap dibuang ke sungai, hanya saja kualitas air limbah yang dibuang sudah jauh lebihbaik dari air limbah sebelum disaring. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi zat pencemar organik seperti BOD dan COD yang mengalami penurunan setelah dilakukan proses adsorpsi dengan karbon aktif.

 ALTERNATIVE TO CFCs






Next page for it's content ;)

Saturday, September 26, 2020

ALTERNATIF PENGGANTI CHLOROFLUOROCARBON (CFC)

    A. Introduction (Pengantar)

     Klorofluorokarbon (CFC) merupakan senyawa volatil buatan manusia yang memiliki masa hidup sangat lama di atmosfer. Study oleh Lovelock pada awal 1970 menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi triklorofluorometana (CFC-11) yang terukur di atmosfer dan senyawa tersebut memiliki masa hidup yang lama di atmosfer. Lalu diikuti dengan penerbitan makalah Molidan dan Rowland (1974), di mana mereka menyatakan bahwa klorofluorometana CFCl3 dan CHCl2 (CFC-11 dan CFC-12) mungkin bertahan dari pengangkutan ke stratosfer, di mana senyawa tersebut bisa dipecah secara fotokimia melepaskan atom klorin, yang kemudian akan mengkatalisasi kerusakan ozon. CFC juga berkontribusi pada terjadinya pemanasan global karena memiliki masa hidup di atmosfer yang panjang.

Pada bulan September 1987, perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dikenal sebagai Protokol Montreal, telah ditandatangani. Di bawah ketentuan perjanjian ini, tinjauan berkala pengembangan ilmu pengetahuan dan pengurangan 50% dalam produksi CFC pada tahun 1998 telah diusulkan. Hasil penelitian selanjutnya dalam revisi, pada bulan Juni 1990, menyerukan larangan total produksi CFC dan Halons pada tahun 2000 di negara maju. Selanjutnya beberapa produsen juga mengumumkan jadwal penghentian penggunaan yang lebih agresif.

Dalam upaya untuk menyediakan pengganti yang memiliki kinerja serupa dengan CFC serta toksisitas rendah, industri telah berfokus pada pengembangan dan penilaian hidroklorofluorokarbon (HCFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). HCFC memiliki tingkat potensi penipisan ozon (ODP) yang jauh lebih rendah, dan HFC memiliki nol ODP dibandingkan dengan CFC. Konservasi dan pengganti yang mengandung nonfluorine juga masih diharapkan dapat mengurangi konsumsi di tahun-tahun mendatang, tetapi aplikasi tertentu akan membutuhkan penggunaan HCFC dan HFC. HCFC akan berfungsi sementara sampai pengganti HFC yang sesuai ditemukan.



Kemudian di halaman selanjutnya akan dijelaskan sintesis beberapa senyawa yang diharapkan menjadi alternatif pengganti CFC.

ALTERNATIF PENGGANTI CHLOROFLUOROCARBON (CFC)

 

B. Sintesis Senyawa Alternatif Pengganti CFC

1)    1,1,1,2-tetrafluoroetana CF3CH2F (HCF-134a)

    Beberapa pendekatan untuk sintesis ini telah dilaporkan, memanfaatkan berbagai bahan awal termasuk hidrokarbon, hidrokarbon terhalogenasi, olefin, dan halo-olefin. Penambahan HF pada substrat olefin, halogenasi dan pertukaran halogen, disproporsionasi, klorofluorinasi, isomerisasi, dan hidrogenolisis merupakan sebagian besar reaksi yang digunakan. Banyak katalis telah dilaporkan atau diklaim untuk melakukan reaksi ini, baik dalam bentuk cair maupun fase uap

a)     Dari Trikloroetilene (TCE)

Rute paling langsung menuju HFC-134a terdiri dari reaksi TCE dengan HF untuk  memproduksi CF3CH2CI (HCFC-133a), diikuti dengan penggantian sisa klorin dengan fluor (Persamaan 1 dan 2). Proses katalitik fase cair dan uap bisa terjadi digunakan untuk langkah pertama yang melibatkan penambahan HF awal melintasi ikatan rangkap diikuti oleh serangkaian reaksi pertukaran halogen.

CCl2=CHCl + 3HF → CF3CH2Cl + 2HCl                 (1)

CF3CH2Cl + HF → CF3CH2F + HCl                        (2)

Konversi fase uap TCE menjadi HCFC-133a telah dilakukan secara konvensional menggunakan katalis berbasis kromium. Kromium trivalent pendukung  pada karbon aktif, serta krom garam  pada alumina, juga telah dianjurkan. Biasanya katalis semacam itu diberikan perlakuan dengan HF terlebih dahulu pada suhu tinggi sebelum digunakan. HF yang berlebih diperlukan untuk konversi HCFC-133a menjadi HFC-134a yang memadai (Persamaan 2). Ini adalah reaksi kesetimbangan terbatas. Aliran produk dari reaksi HCFC-133a dan HF mengandung sejumlah kecil olefin, seperti CF2=CHCl. Ini mungkin beracun dan harus dihilangkan dari produk. Berbagai metode dapat digunakan, misal suatu proses yang melibatkan perlakuan dengan larutan permanganate.

b)     Dari Tetrakloroetilene (Perkloroetilene, PCE)

Proses yang berputar berdasarkan PCE berpuncak pada hidrogenolisis CF3CFCl2 (CFC-114a) ke HFC-134a. PCE diklorinasi secara in situ untuk menghasilkan heksakloroetana, yang kemudian bereaksi dengan HF dalam fase cair menggunakan katalis berbasis antimon konvensional  (biasanya antimon pentahalides), atau dalam fase uap menggunakan sistem berbasis krom, awalnya untuk menghasilkan CF2CICFCl2 (CFC-113) dan / atau CF2CICF2CI (CFC-114) (Persamaan 3-5). Proses fase cair umumnya beroperasi pada suhu lebih rendah dari 160 °C sedangkan sistem fase uap menggunakan suhu mulai dari 250 - 400 °C.

CCl2=CCl2 + Cl2 → CCl3CCl3                                 (3)

CCl3CCl3 + 3HF → CF2ClCFCl2 + 3HCl                 (4)

CF2ClCFCl2 + HF → CF2ClCF2Cl + HCl                 (5)

CF2ClCF2Cl → CF3CCl3                                          (6)

CF2ClCF2Cl → CF3CFCl2                                        (7)

CF3CCl3 + HF → CF3CFCl2 + HCl                           (8)

Dalam satu pendekatan, CFC-113, baik dengan sendirinya atau dicampur dengan isomernya CF3CCl3 (CFC-113a), diisomerisasi dalam fase cair ke CFC-113a dengan adanya Katalis Friedel-Crafts seperti aluminium klorida anhidrat. Reaksi (Persamaan 6) bersifat eksotermik dan sangat cepat, dan biasanya dilakukan dalam kondisi yang sangat ringan. CFC-113a yang diproduksi diolah dengan HF baik dalam fase cair maupun uap menghasilkan CFC-114a (Persamaan 8). Sebagai alternatif, CFC-114 dapat diisomerisasi menjadi CFC-114a (Persamaan 7), melalui proses fase cair atau uap.

Hidrogenolisis fase uap CFC-114a menjadi HFC-134a menggunakan katalisis palladium. Selain HFC-134a, proses tersebut juga menghasilkan CF3CHFCI (HCFC-124) dan CF3CH3 (HFC-143a) (Persamaan 9). Suhu pengoperasian sekitar 120 °C hingga 420 °C.

CF3CFCl2 + H2 → CF3CHFCl + CF3CH2F + CF3CH3       (9)

c)      Pendekatan-pendekatan lain

Dari alternatif dua pendekatan utama untuk HFC-134 sebagaimana dijelaskan, beberapa memiliki potensi untuk pengembangan komersial dan beberapa metode yang berguna untuk produksi skala kecil. Pendekatan dua langkah dari CFC-113 seperti yang diuraikan dalam Persamaan (10) dan (11) adalah kemungkinan komersial yang menarik. Namun, sistem katalitik khusus harus dikembangkan untuk tahap pertama (Persamaan 10) karena, dalam praktik normal, CFC-113 memberi klorotrifluoroetilen (ClFE) daripada trifluoroetilen yang diinginkan (Persamaan 12).

CF2ClCFCl2 + 2H2 → CF2=CHF + 3HCl                 (10)

CF2=CHF + HF → CF3CH2F                                   (11)

CF2ClCCl2F + H2 → CF2=CClF + 2HCl                  (12)

2)    2,2-dikloro-1,1,1-trifluoroetana, CF3CHCl2 (HCFC-123)

Untuk HCFC-134a, beberapa rute ke HFC-123 telah diajukan. Ini diringkas dalam Gambar 3.

a)     Dari Perkloroetilene (PCE)

    Sintesis langsung HCFC-123 dapat diperoleh melalui reaksi yang dikatalisasi dari PCE dengan HF (Persamaan 13), menggunakan proses fase cair atau uap. Penambahan HF melintasi ikatan C=C di PCE (→ CFCl2CHCl2), diikuti oleh pertukaran halogen untuk menghasilkan diklorotrifluoroetana yang lebih stabil secara termodinamika (CF3CHCl2 versus CF2CICHFCI; Persamaan 13). Keberhasilan proses fase-uap telah dikaitkan dengan efek menguntungkan dari katalis alumina berfluorinasi tinggi. Beberapa fluorinasi berlebih memang terjadi, menghasilkan CF3CHFCI (HCFC-124) dan CF3CHF2 (HFC-125).

CCl2=CCl2 +3HF → CF3CHCl2 + 2HCl                   (13)

    Dalam proses fase cair konvensional menggunakan PCE, Cl2, dan HF untuk menghasilkan CFC-113, sejumlah kecil HCFC-123 diproduksi sebagai produk sampingan. Sejumlah kecil isomer CF2CICHFCI yang secara termodinamika kurang stabil (HCFC-123a; Persamaan. 14) juga telah diamati. Produk yang mengandung hidrogen ini berasal dari persaingan penambahan HF versus klorinasi PCE sebagai langkah awal dan selanjutnya pertukaran halogen.

CCl2=CCl2 + 3HF → CF2ClCHFCl + 2HCl                (14)


    Pendekatan kedua (Gambar 3) dari PCE mengikuti sebagian sintesis CFC-113 dan isomerisasinya menjadi CFC-113a. Ini kemudian menjadi sasaran untuk hidrogenolisis sepanjang garis untuk CFC-114a. Platinum pada karbon dan berbagai logam lain seperti Rh, Ir, Pd, atau Re pada substrat seperti karbon dan alumina, dapat memberikan selektivitas yang baik untuk produk yang diinginkan. Selain hidrogenolisis katalitik, teknik reduksi stoikiometri juga memungkinkan. Misalnya, pengurangan CFC-113a dalam pelarut protik seperti metanol dengan adanya garam logam, pada suhu kamar, diketahui memiliki selektivitas yang sangat baik untuk HCFC-123.

b)     Dari Trikloroetilene (TCE)

    Pendekatan berdasarkan TCE melibatkan persiapan awal HCFC-133a (CF3CH2CI). Klorinasi baik ada maupun tidak ada garam logam telah terjadi. Fotokimia klorinasi HCFC-133a dengan selektivitas tinggi menjadi HCFC-123 dan overklorinasi minimum ke CFC-113a juga telah dilaporkan. Keuntungan dari fotoklorinasi adalah produksi hanya satu dari isomer, yaitu HCFC-123, dengan sedikit peluang untuk isomerisasi. Gugus trifluorometil stabil dalam kondisi ini.

c)      Metode Miscellaneous

    Ekuilibrasi media yang berbeda dapat menjadi metode yang berguna asalkan selektivitas tinggi ke HCFC-123 dapat diperoleh. Misalnya, HCFC-123 dibentuk ketika campuran CF3CCl3 dan CF3CH2CI (HCFC-133a) melewati kromium oksida pada suhu tinggi. Selain itu, jika HCFC-123a (CF2CICHFCI) tersedia dari proses tertentu dapat diisomerisasi ke HCFC-123, misalnya, melalui kontak dengan alumina atau aluminium klorida dalam kondisi yang sesuai.

        3)    2-kloro-1,1,1,2-tetrafluoroetana, CF3CHFCl (HCFC-124)

Metode-metode telah dijelaskan untuk konversi PCE ke HCFC-123 atau HFC-134a melibatkan pembentukan HCFC-124 sebagai produk sampingan. Optimalisasi proses tersebut untuk memaksimalkan produksi HCFC-124 dan pengembangan sistem katalitik baru telah menjadi fokus perhatian.

Hidrogenolisis CFC-114a menjadi HFC-134a menghasilkan HCFC-124 dalam jumlah kecil, jika HCFC-124 adalah perantara yang sebenarnya, mungkin hasilnya bisa meningkat melalui modifikasi katalis. Reaksi CF2=CFCI (CTFE, dari deklorinasi CF2CICFCl2) dengan HF dengan adanya katalis krom oksifluorida pada prinsipnya dapat menghasilkan HCFC-124.

4)    Pentafluoroetana, CF3CHF2 (HFC-125)

Prosedur sintetis yang telah dikembangkan untuk HCFC-123, terutama yang dimulai dari PCE, juga dapat digunakan untuk sintesis dari HFC-125. Penambahan HF awal di seluruh ikatan rangkap PCE, diikuti oleh pertukaran semua klorin, menghasilkan HFC-125 (Persamaan 15); dan apabila HCFC-123 dan HCFC-124 tersedia, senyawa ini dapat digunakan sebagai titik awal. Jika ini tidak memungkinkan, PCE dapat diolah dengan Cl2 dan HF untuk menghasilkan kloropentafluoroetan (CFC-115) diikuti oleh hidrogenolisis ikatan C-CI (Persamaan 16 dan 17).

CCl2=CCl2 + 5HF → CF3CHF2 + 4HCl                         (15)

CCl2=CCl2 + Cl2 + 5HF → CF3CF2Cl + 5HCl               (16)

CF3CF2Cl + H2 → CF3CHF2 + HCl                                (17)

Katalis kromium (ll) oksida tampak lebih efektif untuk penambahan HF dan pertukaran halogen. Anhidrat kromium oksida serta gel kromium(lII) oksida menunjukkan selektivitas tinggi terhadap HFC-125. Katalis semacam itu juga berguna untuk klorofluorinasi PCE ke CFC-115. Rincian hidrogenolisis termal CFC-115 (Persamaan 17) pada logam platinum, logam besi, atau renium telah diungkapkan.

5)    1,1-dikloro-1-fluoroetana, CFCl2CH3 (HCFC-141b)

Dua rute langsung tersedia untuk sintesis HCFC-141b, salah satunya melibatkan pertukaran halogen (Persamaan 18) dan penambahan HF melintasi ikatan C=C (Persamaan 19). Reaksi fase cair HF dengan metil kloroform (CH3CCl3) dalam menghadirkan halida-halida tantalum telah diketahui mampu menghasilkan HCFC-141b dengan selektivitas yang baik. Overfluorinasi dengan melanjutkan penggantian klorin pada katalis aktif adalah sebuah persaingan reaksi. Misalnya, pada 100 °C dengan adanya MoO3, CH3CCIF2 (HCFC-142b) adalah produk utama.  Reaksi fase cair serupa menggunakan garam timah atau senyawa organotin bersama dengan senyawa yang mengandung oksigen juga telah diklaim menghasilkan hasil yang dapat diterima dari HCFC-141b.

CH3CCl3 + HF → CH3CFCl2 + HCl                   (18)

CH2=CCl2 + HF → CH3CFCl2                           (19)

Penambahan HF ke vinilidena klorida pada Persamaan (19) menghasilkan HCFC-141b tanpa produk sampingan HCI. Proses seperti itu menggunakan aluminium fluorida sebagai katalis dan beroperasi pada suhu 50 - 120 °C dalam fase uap.

6)    1,1-difluoroetana, CHF2CH3 (HFC-152a)

a)     Dari Asetilena

    Rute paling langsung ke HFC-152a adalah penambahan HF ke asetilena (Persamaan 20), baik proses fase cair maupun fase uap.

CH≡CH + 2HF → CH3CHF2                        (20)

Reaksi fase cair asetilena dengan HF di bawah tekanan dengan adanya BF3 atau FSO3H pada suhu rendah menghasilkan HFC-152a dengan selektivitas tinggi, penggunaan FSO3H-SbF5 untuk meningkatkan penambahan HF pada 25 °C juga menghasilkan produk dengan selektivitas yang baik.

b)     Dari Vinil Klorida

    Reaksi vinil klorida dengan HF menghasilkan HFC-152a (Persamaan 21) telah dijelaskan oleh beberapa simpatisan. Untuk proses fase uap,  aluminium fluorida yang mengandung garam logam lainnya telah banyak digunakan. Chromium (lll) oksida yang didukung pada aluminium fluoride  atau alumina  telah terbukti menjadi katalis yang sangat baik. Pada proses fase cair, adanya SnC4 sebagai katalis dan distilasi produk  HF anhidrat telah dilaporkan menghasilkan HFC-152a yang bebas dari vinil klorida.

CH2=CHCl + 2HF → CH3CHF2 + HCl                    (21)

c)      Metode-Metode Lain

    Kedua isomer dikloroetana telah diubah menjadi HFC-152a dengan HF dalam proses fase cair dan fase  uap. Fluorinasi fase cair dari  1,1-dikloroetana dengan adanya SbCI5 atau SbF5 pada 10-15 °C dilaporkan memberikan hasil yang baik dari HFC-152a. Reaksi fase uap 1,2-dikloroetana dengan HF pada kromium(lll) oksida juga dapat memberikan selektivitas yang baik untuk HFC-152a.

 

7)    Dikloropentafluoropropana

    Dua posisi spesifik isomer dari C3HF5Cl2 telah mendapat perhatian sebagai pengganti untuk CFC-113 dalam aplikasi pelarut dan pembersihan, yaitu CF3CF2CHCl2 (HCFC-225ca) dan CF2CICF2CHFCI (HCFC-225cb). Kedua isomer ini dapat diproduksi dengan perbandingan ca 3 : 2 masing-masing melalui reaksi Prins tetrafluoroetilene dengan CHFCl2 (HCFC-21) pada suhu 15 °C dengan adanya aluminium klorida

Peta Pikiran Teknik Sampling Limbah Cair

Di bawah ini merupakan peta pikiran mengenai teknik sampling limbah cair yang beracuan pada SNI 6968.59:2008 Keterangan:  Gambar 1: peta kon...